PEREMPUAN,POHON AKASIA, DAN TAMAN KOTA

image

Seorang perempuan berjalan menyusuri taman kota. Menghirup udara pagi yang baru saja disajikan alam. Ditariknya nafasnya dalam, lalu dihembuskan perlahan, seolah ingin melepaskan beban pikirannya biar ia bebas melayang bersama partikel debu di udara.

Ini adalah sedikit dari sebagian taman kota yang masih bertahan di kota ini. Selebihnya telah disulap menjadi apartemen, lahan parkir pusat perbelanjaan, terminal..tergantung yang punya uang dan kuasa. Dan pohon akasia di sudut taman, adalah pohon tertua di taman ini. Pohon dan perempuan sering bertukar udara, sang perempuan sering duduk di bawahnya menunggu sang pohon menggugurkan bunganya, lalu ia selipkan di buku sketsa miliknya. Pohon itu juga dahulu menjadi saksi, pertengkaran hebat sang perempuan dengan kekasihnya, ketika sang kekasih hendak mengukir inisial nama mereka di tubuh sang pohon.
“Menyakitinya, berarti menyakitiku juga!!” Sengit sang perempuan,  hingga memerah padamkan wajah kekasihnya, dan cinta mereka pun usai di bawah pohon itu.

Perempuan itu menyandarkan tubuhnya di tubuh pohon akasia, duduk sejenak sambil mendongak, aah…tak ada bunga akasia hari ini…mungkin besok, minggu depan, atau bulan depan, entah kapan…Musim memang sedang kering, hingga banyak pohon lebih memilih menggugurkan daunnya ketimbang berbunga. Hingga sekelompok pemuda berjalan ke arah sang perempuan, membawa sebuah poster, semacam spanduk untuk di tempelkan. Sebuah paku besar pun siap dipancangkan. Sekilas foto yang nampak di poster itu seperti ia kenali..tapi, itu tidak penting, sepenting mencegah kelompok pemuda itu melukai kulit pohon dengan memaku poster itu di sana. Entah telah berapa pohon yang telah mereka lukai. Dan perempuan itu beradu kata dengan sekelompok pria itu, cukup sengit, hingga mereka memilih mundur, bukan karena sadar dan tak ingin memaku pohon lagi, tapi karena yang mereka hadapi adalah perempuan. Bertameng gender memang terkadang berhasil menaklukkan ego lelaki. Hingga senja memaksa perempuan itu pamit sejenak, esok aku kembali menjagamu. Bisiknya pada pohon itu.

Mendung menggelantung, sebentar lagi curahnya melebat. Perempuan berlari kecil memasuki area taman kota, berteduh di bawah pohon akasia tujuannya. Di sana telah berdiri seorang pria, menempati tempatnya lebih dahulu, tujuan mereka sama, berteduh!
” Namaku Hari..” Sodoran tangannya tak disambut sang perempuan…
“Namaku serupa dengan pohon ini.” Jawab Sang perempuan singkat, lalu sibuk memeluk tubuhnya yang mulai kuyup. Lalu keduanya diam, percuma, hujan terlalu lebat untuk menghantarkan rangkaian kata ke telinga. Hingga hujan mulai mereda.

Dua orang pria setengah baya, dengan beberapa pengawal memayungi, menghampiri pohon, perempuan, dan pria yang masih berdiri di sana.
“Pohon ini akan segera ditebang, akan diganti sculpture.”
Kata sang pria setengah baya pada pria di sebelahnya lagi. “Akan diganti dengan sculpture kita berdua, mumpung kita masih menjabat walikota dan wakil walikota…toh, jika kita tak terpilih lagi, ada kenang-kenangan tentang kita di sini.”
“Tidak bisa!!!” Teriak sang perempuan lantang. “Pohon ini bersusah payah menyaring debu dan polusi yang manusia hasilkan lalu mengubahnya dengan oksigen bersih untuk kalian hirup, dan seenaknya ingin kalian ganti dengan patung! Tak tahu diri!” Dua pria paruh baya terkejut, berani-beraninya perempuan di depannya menghardik pejabat seperti mereka.
“Atau hidupmu juga ingin berakhir senasib dengan pohon ini?!” Gertak sang walikota.

Beginikah manusia berkedudukan? Lebih memilih menyelesaikan masalah dengan darah ketimbang musyawarah. Sang pria yang sedari tadi hanya diam mengamati dari belakang, bergerak maju, hingga tubuh kecil sang perempuan nyaris tenggelam dari balik punggung sang pria.
“Lelakilah sedikit,bung! Saya setuju dengan perempuan ini, pohon akasia ini tidak boleh di tebang, kecuali kalian menggantinya dengan yang serupa, atau taman kota kita ini akan semakin gundul tak beratap.”
“Jangan ikut campur! Kami yang berkuasa, jadi kami yang menentukan.” Sahut sang wakil walikota.
“Tapi, kalian bukan Tuhan!” Sang perempuan bersuara kembali, mengheningkan suasana…yang ada hanya bunyi tetesan air dari ujung daun akasia ke atas kubangan air di bawahnya. Pohon akasia menangis!!!

Gertakan sang perempuan.memang tak menyurutkan niat sang penguasa kota. Walikota dan wakilnya bahkan tersenyum menang, ketika batang pohon akasia merebah di tanah. Memang benar walikota dan wakilnya bukan Tuhan, namun sejenak Tuhan memberinya kuasa, mungkin kuasa semu yang tak mampu ia pertanggungjawabkan ketika berhadapan di depan mahkamah akhirat. Dan kuasanya akhirnya memang mampu menghilangkan pohon akasia itu di sana. Sang perempuan hanya terpekur, sambil di tangannya menggenggam bibit akasia baru, titipan dari sang pohon akasia, sesaat sebelum ia ditebang tanpa sisa. Geram, namun tak mampu meneruskan kegeraman. Sang pria mendekat perlahan, lalu berdiri di sisi sang perempuan.
“Lalu bagaimana nasib akasia?” Tanya sang pria pada sang perempuan.
“Aku akan mencarikannya rumah baru.” Sambil menghela nafas, sang perempuan menatap beberapa bibit biji tanaman akasia di telapak tangannya.
“Di halaman belakang rumahku ada lahan luas, mungkin ia butuh beberapa pohon akasia di sana, juga bunga indah sepertimu..lalu kita akan mendesain “taman kota” di halaman belakang rumahku.”
“Aku?Bunga indah?Akasia?Kita?” Sang perempuan mengernyit sendiri…
“Dan rumah kecil kita di dalam taman kota kita…” Kata sang pria mantap sambil menatap langit, sambil menggantung asa di sana.

******

Nampak sang pria dan sang perempuan menanam beberapa benih akasia di halaman belakang rumah, di lahan yang sekaligus menjadi hadiah bagi sang perempuan.  Sebuah papan kayu kecil bergantung di pagar kayu bercat putih, “Hari & Akasia, Just Married!”

@Cheitumminyafardais

Sumber gambar : di sini

BANGUNAN TINGGI

Mereka yang mendirikan bangunan yang kecil melakukannya karena mereka tidak mampu membuat yang lebih besar. Dan yang mereka mampu membangun bangunan besar berpotensi memanipulasi masyarakat kita.

(Rob Krier dalam Komposisi Arsitektur)

Ciri khas dari sebuah kota besar adalah bangunan tinggi, semisal, gedung perkantoran, hotel bintang lima, apartemen, bahkan pusat perbelanjaan berlantai banyak. Keterbatasan lahan, nilai ekonomi, atau intelektual manusia yang semakin meningkat, mendorong untuk membangun ke atas. Namun, entah karena saya termasuk orang udik, rasanya suka mual kalo berada di sekitar gedung-gedung pencakar langit, apalagi berada diatasnya, yang muncul malah parno…hueh..nasib..jangan-jangan saya kurang intelek untuk yang satu ini..

Bangunan tinggi kerap jadi pemicu masalah perkotaan…belum lagi memanipulasi masyarakat seperti kata Om Rob, yang tulisannya saya kutip di awal. Beberapa tahun lalu, di sebuah berita  televisi saya melihat sekelompok ibu-ibu berdemo di depan sebuah lahan yang awalnya menjadi tempat berdiri rumah-rumah mereka yang mungil dan menggemaskan.….sederhana. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja terjadi kebakaran di kompleks mereka yang membakar ludes rumah-rumah mereka. Dan selang beberapa lama, muncul lah para “pahlawan kesiangan” , “polisi india” (yang suka muncul di akhir film)..menawarkan bantuan dan ganti rugi yang ternyata cuma janji gombal saja… dan tanah pun melayang begitu saja,..dzolim ya???siapa yang saya maksud..tebak sendiri saja…saya tak cukup intelek untuk mengungkapkan dari lubuk hati saya yang terdalam.hiehiehie..

Saya tidak terlalu berlebihan membenci bangunan tinggi, sampai akan membakarnya jika bertemu, tidak…tidak…..hhehehe…cuma sekedar menulis sedikit dampak buruk maraknya berdiri bangunan ini di perkotaan, khususnya di kota kami bermukim sementara..Jakarta…ini dia….jeng..jeng…

1. Maraknya bangunan tinggi, mengurangi lahan bermain anak-anak, disiasati dengan membangun arena bermain indoor?… tetap saja tak mampu menggantikan yang alamiah seperti taman, hembusan angin, kupu-kupu yang terbang, seandainya kita punya taman atau lapangan yang tidak berbayar minimal seperti taman di bikini bottom, tempat  spongebob berlari mengejar ubur-ubur.^^

2. Bangunan tinggi untuk pemukiman, membuat krisis sosial…alasannya biar privasi terjaga, bebas dari kebisingan…lalu dimana tetangga sebagai keluarga terdekat kita seperti yang disabdakan Rasulullah, jikalau kita hidup dalam kamar-kamar besar nan mewah yang tertutup, yang semakin menjauhi bumi.

3. Bangunan tinggi berselimut kaca, membuat bumi semakin panas….demi sebuah bangunan tinggi mewah nan megah, satu pohon yang menjadi pertukaran sirkulasi udara kita dikorbankan…dan lansekap natural pun tersingkirkan. Menurut  Silvia Vivi dari Koalisi Pulihkan Jakarta yang saya kutip  di sini .”Satu pohon bisa menghasilkan 1,2 kilogram oksigen per hari yang bisa menyediakan oksigen bagi dua orang. Satu pohon ditebang, dua warga kehilangan sumber oksigen. Sebanyak 0,1 hektar pohon mencukupi oksigen untuk 18 orang. Bayangkan berapa orang bakal tercekik karena kurang suplai oksigennya.”

4.Bangunan tinggi di mana-mana, mengurangi daerah resapan air, gara-gara memenuhi fasilitas bangunan tinggi semisal, lahan parkir, basement, dsb….ketika turun hujan, air tergenang, bingung akan mengalir ke mana dan meresap di mana..akhirnya ketika musim hujan tiba, banjir tak terkendali.

Cukup empat poin saja, ada yang mau menambahkan? silahkan^^ Berhubung saya bukan berprofesi sebagai arsitek meski lulusan Arsitektur….tapi saya mendukung para arsitek beraliran humanis, idealis….yang  tidak ikut arus karena alasan teknis dan ekonomis….salam^^

@cheitumminyafardais

Makassar, 15 September 2011