TENTANG SIAPA YANG DULUAN MATI

image

Dua sejoli paruh baya menghabiskan waktunya di depan beranda rumah mungil mereka. Mememori beberapa serpihan kenangan kecil, lalu bahu membahu menyusunnya menjadi sebuah puzzle. Tak mudah mengingat itu sendiri, tapi jika berdua jadi lebih mudah.

“Masih ingat percakapan kita dua puluh tahun yang lalu?” Tanya sang wanita paruh baya pada lelaki berwajah keriput meski masih saja tegapnya membuatnya tidak rapuh oleh usia. Masih gagah!
“Yang mana?”
“Ah, jangan berlagak pikun, yang tentang siapa sebaiknya diantara kita berdua yang duluan mati.”
“Oh ya…itu…kita membahasnya malam per malam, tidak satupun dari kita yang bersedia mengalah.”
“Kau ingat bagian itunya saja?” Si wanita paruh baya menatap sang pria paruh baya dari balik kacamatanya yang melorot.
“Yah! Kamu bilang biar kamu saja yang mati duluan biar aku bisa menikah lagi dengan perempuan baru sepeninggalmu.” Si pria paruh baya melengos.
“Lho, apanya yang salah? Toh, kamu pun bermaksud  yang sama, katamu biar kamu saja yang mati duluan, padahal kamu tahu aku takkan bisa menikah lagi dengan pria manapun setelahmu.” Si wanita paruh baya menunduk lesu, kerutan di dahinya ikut melorot. “Aku tetap tidak bisa membayangkan bagaimana sepinya duniaku kalau kamu duluan yang mati. Siapa yang akan membantuku mengangkat baju-baju yang mengering di jemuran, mencarikan kacamataku yang lupa kusimpan dimana, mengingatkanku rakaat sholatku yang terlupa.

Keduanya lalu terdiam. Hening tak bergerak. Hanya ujung-ujung rambut memutih yang bergerak melambai ditiup angin semilir.

“Lalu, setelah 20 tahun apakah kita masih akan meributkan tentang siapa duluan yang mati?” Sang pria paruh baya kembali angkat bicara dengan suara bergetar. ” Diraihnya bahu mungil merapat ke sisinya. Menyandarkan kepala wanita paruh baya itu di bahunya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku, apakah kita masih akan meributkan  tentang siapa duluan yang mati?” Si pria paruh baya mengulangi pertanyaannya. Sang wanita paruh baya tak menjawab, dia memilih memejamkan mata di bahu sang pria paruh baya yang membersamainya selama 50 tahun. Mengatur nafasnya yang satu-satu keluar masuk, sampai habis.

Day 12 #NulisRandom2015

SIAPA NAMANYA?

“Jadi, siapa namanya, Mas?” Tanyaku sambil memperhatikannya tanpa sedikitpun ingin menyentuh.
“Belum tahu. Tidak ada ide.” Jawabnya acuh, asyik mendandani ruang baru untuk makhluk yang baru saja hadir di rumah kami
“Bagaimana kalau hattrick saja?” Usulku asal
“Terlalu keren dan kurang membumi..”
“Kalau imam Nahrowi?” Usulanku semakin asal
“Itukan nama menpora!” Jawabnya sewot.
“Ya sudah kalau begitu, aku nyerah, gak ada ide.”
Kami berdua terdiam lama sembari masing-masing asyik dengan kesibukan sendiri, aku dengan gadgetku, dan dia dengan makhluk piaraannya itu. Tiba-tiba saja pria itu meloncat ke arahku, mengagetkanku. “Bagaimana kalau kuberi nama Jokowi saja? Kalau ia sudah terlatih, suaranya merdu, akan kuikutkan kontes, dan akan kubuat pencitraannya mulai sekarang!” Katanya berapi-api, sambil menatap antusias piaraannya.
Aku menatapnya heran, pria yang kukenal dua puluh tahun lalu ini semakin aneh saja sejak ia tergila-gila pada perkutut.

Day 5 #NulisRandom2015
@cheitumminyafardain
image